Lamborghini Huracán LP 610-4 t

Masya Allah, anti sudah hafal 5 juz ???
Hmmm …
Secara fitrah manusia, pastilah senang jika
dirinya dipuji. Saat pujian datang -apalagi dari
seseorang yang istimewa dalam pandangannya-
tentulah hati akan bahagia jadinya. Berbunga-
bunga, bangga, senang. Itu manusiawi. Namun
hati-hatilah duhai saudariku, jangan sampai riya ’
menghiasi amal ibadah kita karena di setiap amal
ibadah yang kita lakukan dituntut keikhlasan.
Niat yang ikhlas amatlah diperlukan dalam setiap
amal ibadah karena ikhlas adalah salah satu
syarat diterimanya suatu amal di sisi Allah.
Sebuah niat dapat mengubah amalan kecil
menjadi bernilai besar di sisi Allah dan
sebaliknya, niatpun mampu mengubah amalan
besar menjadi tidak bernilai sama sekali.
Kali ini, kita tidak hendak membahas tentang
ikhlas melainkan salah satu lawan dari ikhlas,
yaitu riya ’.
Hudzaifah Ibnu Yaman pernah berkata:
“Orang-orang bertanya pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang hal-hal yang baik
sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang
hal-hal jelek agar aku terhindar dari kejelekan
tersebut. ” (HR Bukhari dan Muslim)
Maka saudariku muslimah, marilah kita
mempelajari tentang riya ’ agar kita terhindar dari
kejelekannya.
Mari Kita Berbicara tentang Riya’
Secara bahasa, riya’ berasal dari kata ru’yah
(ةيؤّرلا), maknanya penglihatan. Sehingga
menurut bahasa arab hakikat riya’ adalah orang
lain melihatnya tidak sesuai dengan hakikat
sebenarnya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Riya’ ialah
menampakkan ibadah dengan tujuan agar dilihat
manusia, lalu mereka memuji pelaku amal
tersebut. ”
Pernahkah ukhti mendengar tentang sum’ah?
Sum’ah berbeda dengan riya’, jika riya’ adalah
menginginkan agar amal kita dilihat orang lain,
maka sum ’ah berarti kita ingin ibadah kita
didengar orang lain. Ibnu Hajar menyatakan:
“ Adapun sum’ah sama dengan riya’. Akan tetapi
ia berhubungan dengan indera pendengaran
(telinga) sedangkan riya ’ berkaitan dengan indera
penglihatan (mata).”
Jadi, jika seorang beramal dengan tujuan ingin
dilihat, misalnya membaguskan dan
memperlama shalat karena ingin dilihat orang
lain, maka inilah yang dinamakan riya ’. Adapun
jika beramal karena ingin didengar orang lain,
seperti seseorang memperindah bacaan Al
Qur ’annya karena ingin disebut qari’, maka ini
yang disebut sebagai sum’ah.
Bahaya Riya’
Ketahuilah wahai saudariku, bahwa riya’
termasuk ke dalam syirik asghar/kecil. Ia dapat
mencampuri amal kita kemudian merusaknya.
Amalan yang dikerjakan dengan ikhlas akan
mendatangkan pahala. Lalu bagaimana dengan
amalan yang tercampur riya ’? Tentu saja akan
merusak pahala amalan tersebut. Bisa merusak
salah satu bagiannya saja atau bahkan merusak
keseluruhan dari pahala amalan tersebut.
Berikut ini beberapa bentuk riya’:
Riya’ yang mencampuri amal dari awal hingga
akhir, maka amalannya terhapus.
Misalnya seseorang yang hendak mengerjakan
shalat lalu datang seseorang yang ia kagumi.
Kemudian ia shalat dengan bagus dan khusyu ’
karena ingin dilihat orang tersebut. Riya’ tersebut
ada dari awal hingga akhir shalatnya dan ia tidak
berusaha untuk menghilangkannya, maka
amalannya terhapus.
Riya’ yang muncul tiba-tiba di tengah-tengah
amal dan dia berusaha untuk menghilangkannya
sehingga riya ’ tersebut hilang, maka riya’ ini tidak
mempengaruhi pahala amalannya. Misalnya
seseorang yang shalat kemudian muncul riya’ di
tengah-tengah shalatnya dan ia berusaha untuk
menghilangkannya sehingga riya ’ tersebut
hilang, maka riya’ tersebut tidak mempengaruhi
ataupun merusak pahala shalat tersebut.
Riya ’ muncul tiba-tiba di tengah-tengah namun
dibiarkan terus berlanjut, maka ini adalah syirik
asghar dan menghapus amalannya. Namun
dalam kondisi ini ulama berselisih pendapat
tentang amalan mana yang terhapus, misalnya
riya ’ dalam shalat. Apakah rakaat yang
tercampuri riya’ saja yang terhapus ataukah
keseluruhan shalatnya?
Pendapat pertama menyatakan bahwa yang
terhapus hanyalah pada amalan yang terkait.
Pendapat kedua, yaitu perlu dirinci:
Kalau amalannya merupakan satu rangkaian dan
tidak mungkin dipisahkan satu dengan yang lain,
misalnya shalat dhuhur empat rakaat, maka
terhapus rangkaian amal tersebut.
Kalau amalannya bukan merupakan satu
rangkaian, maka amal yang terhapus pahalanya
adalah sebatas yang tercampuri saja. Misalnya
seseorang yang bersedekah kepada sepuluh
orang anak yatim. Saat bersedekah pada anak
kesatu sampai yang kelima ia ikhlas. Akan tetapi
riya ’ muncul saat ia bersedekah pada anak ke-
enam, maka pahala yang terhapus adalah
sedekah pada anak ke-enam. Contoh yang
serupa adalah puasa.
Riya ’ itu Samar
Pada asalnya, manusia memiliki kecenderungan
ingin dipuji dan takut dicela. Hal ini menyebabkan
riya ’ menjadi sangat samar dan tersembunyi.
Terkadang, seorang merasa telah beramal ikhlas
karena Allah, namun ternyata secara tak sadar ia
telah terjerumus kedalam penyakit riya ’.
Saudariku, pernahkah engkau mendengar
langkah laki seekor semut? Suara langkahnya
begitu samar bahkan tidak dapat kita dengar.
Seperti inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menggambarkan kesamaran riya’. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kesyirikan itu lebih samar dari langkah kaki
semut.” Lalu Abu Bakar bertanya, “Wahai
Rasulullah, bukankah kesyirikan itu ialah
menyembah selain Allah atau berdoa kepada
selain Allah disamping berdoa kepada selain
Allah ?” maka beliau bersabda.”Bagaimana
engkau ini. Kesyirikan pada kalian lebih samar
dari langkah kaki semut. ” (HR Abu Ya’la Al
Maushili dalam Musnad-nya, tahqiq Irsya Al Haq
Al Atsari, cetakan pertama, tahun 1408 H,
Muassasah Ulum Al Qur ’an, Beirut, hlm 1/61-62.
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Targhib,
1/91)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengkhawatirkan bahaya riya’ atas umat Islam
melebihi kekhawatiran beliau terhadap bahaya
Dajjal. Disebutkan dalam sabda beliau: “Maukah
kalian aku beritahu sesuatu yang lebih aku
takutkan menimpa kalian daripada Dajjal. ” Kami
menyatakan, “Tentu!” beliau bersabda “Syirik
khafi (syirik yang tersembunyi). Yaitu seseorang
mengerjakan shalat, lalu ia baguskan shalatnya
karena ia melihat ad seseorang yang
memandangnya. ”
Hal ini tidak akan terjadi, kecuali karena faktor
pendukung yang kuat. Yaitu karena setiap
manusia memiliki kecenderungan ingin
mendapatkan pujian, kepemimpinan dan
kedudukan tinggi di hadapan orang lain.
Bentuk Riya’
Wahai ukhti muslimah, didalam mencapai
tujuannya, para mura ’i (orang yang riya’)
menggunakan banyak jalan, diantaranya sebagai
berikut:
Dengan tampilan fisik, yaitu seperti menampilkan
fisik yang lemah lagi pucat dan suara yang
sangat lemah agar dianggap sebagai orang yang
sangat takut akhirat atau rajin berpuasa.
Dengan penampilan, yaitu seperti membiarkan
bekas sujud di dahi dan pakaian yang seadanya
agar tampil seperti ahli ibadah. Ketika
menjelaskan QS Al Fath, dalam Hasyiah Ash
Shawi 4/134 disebutkan, “Yang dimaksud ‘bekas
sujud’ bukanlah hitam-hitam di dahi
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang
bodoh yang ingin riya ’ karena hitam-hitam di
dahi merupakan perbuatan khawarij.”
Dengan perkataan, yaitu seperti banyak
memberikan nasehat, menghafal atsar (riwayat
salaf) agar dianggap sebagai orang yang sangat
memperhatikan jejak salaf.
Dengan amal, yaitu seperti memperlama rukuk
dan sujud ketika shalat agar tampak khusyu ’ dan
lain-lain.
Kiat Mengobati Penyakit Riya’
Wahai saudariku, setiap insan tidak akan pernah
lepas dari kesalahan. Sebaik-baik orang yang
melakukan kesalahan adalah yang bertaubat
kepada Allah atas kesalahan yang pernah
dilakukannya.
Hati manusia cepat berubah. Jika saat ini
beribadah dengan ikhlas, bisa jadi beberapa saat
kemudian ikhlas tersebut berganti dengan riya ’.
Pagi ikhlas, mungkin sore sudah tidak. Hari ini
ikhlas, mungkin esok tidak. Hanya kepada
Allahlah kita memohon agar hati kita diteguhkan
dalam agama ini. َ
Selain itu, hendaknya kita berusaha untuk
menjaga hati agar terhidar dari penyakit riya’.
Saudariku, inilah beberapa kiat yang dapat kita
lakukan agar terhindar dari riya ’:
1. Memohon dan selalu berlindung kepada Allah
agar mengobati penyakit riya ’
Riya’ adalah penyakit kronis dan berbahaya. Ia
membutuhkan pengobatan dan terapi serta
bermujahadah (bersungguh-sungguh) supaya
bisa menolak bisikan riya ’, sambil tetap meminta
pertolongan Allah Ta’ala untuk menolaknya.
Karena seorang hamba selalu membutuhkan
pertolongan dan bantuan dari Allah. Seorang
hamba tidak akan mampu melakukan sesuatu
kecuali dengan bantuan dan anugerah Allah.
Oleh karena itu, untuk mengobati riya ’, seorang
selalu membutuhkan pertolongan dan
memohon perlindungan kepada-Nya dari
penyakit riya ’ dan sum’ah. Demikian yang
diajarkan Rasulullah dalam sabda beliau:
“Wahai sekalian manusia, peliharalah diri dari
kesyirikan karena ia lebih samar dari langkah kaki
semut. ” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana cara kami memelihara diri darinya
padahal ia lebih samar dari langkah kaki semut?”
beliau menjawab, “Katakanlah:
َّمُهّللا َكِبُذْوُعَناَّنِإ ْنِم
ْنََأ َكِرْشُن َكِب ُهُمَلْعَناًئْيَش
َكُرِفْغَتْسَنَو اَمِل َال ُمَلْعَن
‘Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari
perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami
mohon ampunan kepada-Mu dari apa yang tidak
kami ketahui. ’” (HR. Ahmad)
2. Mengenal riya’ dan berusaha menghindarinya
Kesamaran riya’ menuntut seseorang yang ingin
menghindarinya agar mengetahui dan mengenal
dengan baik riya ’ dan penyebabnya. Selanjutnya,
berusaha menghindarinya. Adakalanya seorang
itu terjangkit penyakit riya ’ disebabkan
ketidaktahuan dan adakalanya karena keteledoran
dan kurang hati-hati.
3. Mengingat akibat jelek perbuatan riya’ di dunia
dan akhirat
Duhai saudariku di jalan Allah, sifat riya’ tidaklah
memberikan manfaat sedikitpun, bahkan
memberikan madharat yang banyak di dunia
dan akhirat. Riya ’ dapat membuat kemurkaan
dan kemarahan Allah. Sehingga seseorang yang
riya ’ akan mendapatkan kerugian di dunia dan
akhirat.
4. Menyembunyikan dan merahasiakan ibadah
Salah satu upaya mengekang riya’ adalah
dengan menyembunyikan amalan. Hal ini
dilakukan oleh para ulama sehingga amalan yang
dilakukan tidak tercampuri riya ’. Mereka tidak
memberikan kesempatan kepada setan untuk
mengganggunya. Para ulama menegaskan
bahwa menyembunyikan amalan hanya
dianjurkan untuk amalan yang bersifat sunnah.
Sedangkan amalan yang wajib tetap
ditampakkan. Sebagian dari ulama ada yang
menampakkan amalan sunnahnya agar dijadikan
contoh dan diikuti manusia. Mereka
menampakkannya dan tidak
menyembunyikannya, dengan syarat merasa
aman dari riya ’. Hal ini tentu tidak akan bisa
kecuali karena kekuatan iman dan keyakinan
mereka.
5. Latihan dan mujahadah
Saudariku, ini semua membutuhkan latihan yang
terus menerus dan mujahadah (kesungguhan)
agar jiwa terbina dan terjaga dari sebab-sebab
yang dapat membawa kepada perbuatan riya ’
bila tidak, maka kita telah membuka pintu dan
kesempatan kepada setan untuk menyebarkan
penyakit riya ’ ini ke dalam hati kita.
Belajar dari Para Salaf
Duhai muslimah, berikut ini adalah kisah salaf
yang menunjukkan betapa mereka menjaga diri
dari riya ’ dan sum’ah. Mereka tidak
menginginkan ketenaran dan popularitas. Justru
sebaliknya, mereka ingin agar tidak terkenal.
Mereka memelihara keikhlasan, mereka takut jika
hati mereka terkena ujub (bangga diri).
Abu Zar’ah yahya bin Abu ‘Amr bercerita:
Pernah Adh-Dhahhak bin Qais keluar untuk
memohon hujan bersama-sama dengan orang-
orang, tapi ternyata hujan tidak turun dan beliau
juga tidak melihat awan. Beliau berkata: “Dimana
gerangan Yazid bin Al Aswad?” (dalam satu
riwayat: tidak seorang pun yang menjawab
pertanyaan beliau. Beliau pun bertanya lagi:
“ Dimana Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi? Jika
beliau mendengar, saya sangat berharap beliau
berdiri. ”) “Ini saya”, seru Yazid. “Berdirilah dan
tolonglah kami ini di hadapan Allah. Jadilah kamu
perantara(*) kami agar Allah menurunkan hujan
kepada kami. ”, kata Adh-Dhahhak bin Qais.
Kemudian Yazid pun berdiri seraya
menundukkan kepala sebatas bahu serta
menyingsingkan lengan baju beliau kemudian
berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya hamba-
hamba-Mu ini memohon syafaatku kepada-Mu.”
Beliau berdoa tiga kali dan seketika itu pula
turunlah hujan yang sangat deras sehingga
hampir terjadi banjir. Kemudian beliau pun
berkata: “Sesungguhnya kejadian ini membuat
saya dikenal banyak orang. Bebaskanlah saya
dari keadaan seperti ini. ” Kemudian hanya
berselang satu hari, yaitu Jum’at setelah peristiwa
itu beliau pun wafat. (Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248)
dan Al Fasawi (2/239-pada penggal yang
terakhir). Atsar ini shahih).
(*) Dalam keadaan ini, meminta perantara dalam
berdo ’a diperbolehkan, karena Yazid bin Al
Aswad Al Jurasyi yang menjadi perantara masih
dalam keadaan hidup, dan beliau adalah seorang
yang shaleh. Bedakan dengan keadaan orang-
orang yang berdo ’a meminta kepada orang
yang dianggap shaleh yang sudah meninggal
dunia di kubur-kubur mereka! dan ini merupakan
Syirik Akbar yang membuat pelakunya kekal di
neraka jika belum bertaubat. -ed
Berkata Hammad bin Zaid rahimahullah: “Saya
pernah berjalan bersama Ayyub tapi beliau
melewati jalan-jalan yang membuat diriku heran
dan bertanya-tanya kenapa beliau sampai
berbuat seperti ini (berputar-putar melewati
beberapa jalan). Ternyata beliau berbuat seperti
itu karena beliau tidak mau orang-orang
mengenal beliau dan berkata: ‘Ini Ayyub, ini
Ayyub! Ayyub datang, Ayyub datang!’” (Riwayat
Ibnu Sa’ad dan lainnya).
Hammad berkata lagi: “Ayyub pernah
membawa saya melewati jalan yang lebih jauh,
maka sayapun berkata: ‘Jalan ini lebih dekat!’
Beliau menjawab: ‘Saya menghindari kumpulan
orang-orang di jalan tersebut.’ Dan memang
apabila dia memberi salam, akan dijawab oleh
mereka dengan jawaban yang lebih baik dari
jawaban kepada yang lainnya. Dia berkata: ‘Ya
Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa
aku tidak menginginkannya! Ya Allah
sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku
tidak menginginkannya !’” (Riwayat Ibnu Sa’ad
(7/248) dan Al Fawasi (2/239-pada penggal yang
terakhir). Atsar ini shahih).
Kita berlindung kepada Allah dari penyakit riya’.
Semoga Allah menjadikan kita seorang
mukhlishah, senantiasa berusaha untuk menjaga
niat dari setiap amalan yang kita lakukan.
Innamal ‘ilmu ‘indallah. Wa’allahu a’lam.